Mark Zuckerberg Si Penemu Facebook Mungkin Tidak Menyangka

Oleh ; (Nugroho W. Sistanto )

Kabag Humas dan protokol Drs Nugroho W Sistanto
Drs Nugroho W Sistanto

KETAPANGNEWS.COM-Mark Zuckerberg adalah penemu salah satu media sosial, dialah yang pertama kali menciptakan facebook (2004). Dia temukan teknologi ini dan dikembangkan bersama beberapa teman sekamarnya saat masih menimba ilmu dibangku kuliah. Awal mulanya dia ciptakan itu untuk keperluan perkuliahan, dia kuliah di Harvard University. Dia menciptakan facebook itu untuk meng- share materi perkuliahan kepada rekan satu kelasnya.( Sumber;http://www.satujam.com).

Intinya, yang disampaikan disini mula-mula facebook diciptakan untuk keperluan yang baik, untuk membantu atau mempermudah manusia dalam kehidupannya, sebagaimana halnya dengan teknologi yang lainnya, termasuk teknologi peralatan perang sekalipun. Peralatan perang diciptakan untuk tujuan baik, untuk menjaga diri, menjaga kedaulatan suatu negara bukan untuk menyerang atau melakukan invasi ke negara lain.

Ternyata terkait dengan perkembangan teknologi, yang dikhawatirkan bukan bagaimana teknologi itu diciptakan, juistru yang paling dikhawatirkan adalah penggunaan dari teknologi tersebut. Di dunia teknologi, ada istilah The Man Behind The Gun alias orang berada di belakang senjata, bukan The Man Front The Gun. Kalau The Man Front The Gun ini sama saja dengan Senjata Makan Tuan alias bunuh diri.

Apabila ada bias atau penyimpangan dalam penggunaan teknologi, yang salah bukan The Gun-nya, karena The Gun-nya tidak tahu apa-apa, karena barang mati. The Man-nya yang salah, karena The Man-nya yang punya pikiran, punya hasrat, punya keinginan, punya maksud, dan punya tujuan. Semua tergantung pada The Man-nya, apakah semua itu untuk hal-hal yang baik, untuk membangun peradaban manusia, atau sebaliknya untuk saling bertikai dan saling menghancurkan.

Kembali ke Mark Zuckerberg, saat ini pengguna facebook tidak kurang dari 1,23 milyar manusia penghuni bumi ini. Bukan main, hanya dalam tempo waktu yang boleh dikatakan singkat, sudah mencapai 1,23 milyar pengguna. Manusia di planet bumi iini, dimanapun dia berada sepanjang terjangkau satelit yang memancarkan gelombang selluler, mereka bisa saling berinteraksi satu sama lainnya, makanya media ini disebut sebagai media sosial alias medsos.

Seketika, sekejap, dan dalam hitungan detik, sebuah pesan (message) bisa disampaikan. Sebuah kemajuan teknologi penyampaian pesan yang luar biasa, yang kadang membuat orang terperangah, tergagap—gagap, tidak jarang birokrasi kepunthal-punthal (baca; kesulitan menyamakan kecepatan) untuk menyiapkan perangkat hukumnya. Proses produk hukum sedang berlangsung, sudah muncul produk baru hasil pengembangan teknologi, hampir selalu demikian.

Kondisi semacam ini umumnya terjadi pada negara-negara “pengguna teknologi”, bukan pada negara “pencipta teknologi”. Pencipta teknologi sudah memiliki langkah-langkah antisipasi yang lebih dini, karena mereka pencipta teknologi maka mereka piawai dalam hal pengendaliannya. Pengendalian yang mereka upayakan, tertolong oleh kemapanan sistem yang sudah linked, terbangun dengan baik.

Sebagaimana diawal tulisan ini, Mark Zuckerberg menciptakan facebook untuk keperluan perkuliahan, untuk membantu dirinya menimba ilmu di kampus bergengsi itu, di Harvard University. Kini facebook sudah dipergunakan untuk berbagai keperluan. Ada untuk bisnis, untuk jualan on-line, ada yang untuk saling bertukar informasi sesama grup pertemanan, informasi apapun. Ada`yang untuk grup diskusi, saling tukar menukar informasi perkembangan ilmu. Intinya untuk tujuan-tujuan kebaikan, untuk share pengetahuan.

Namun, tidak sedikit digunakan untuk saling mencederai (secara moral), mengumpat, mencaci maki, menebar ujaran kebencian, menyampaikan berita bohong (hoax), berbahasa tulis yang tidak patut atau tidak sopan, menggunggah gambar, foto, video yang tidak pantas ditonton, dan masih banyak lagi. Mengapa terjadi demikian?. Menurut penulis, ada beberapa faktor penyebab. Penyebab pertama lebih terkait dengan teknis operasionalisasi teknologi, penyebab yang kedua terkait pengetahuan dan pemahaman tentang medsos itu sendiri dan yang ketiga terkait dengan kesadaran hukum.

Teknis operasionalisasi teknologi yang dimaksudkan disini adalah di negara kita belum terbangun sistem yang linked, artinya asal mau saja, seseorang bisa membuat akun facebook seberapapun dia mau, lima? sepuluh? dua puluh?, menggunakan nama-nama samaran, sesuka dia mau. Proses pembuatan akun begitu mudah. Ini lebih mengarah pada operator, si empunya teknologi tersebut. Tentu akan berbeda situasinya apabila dalam proses pembuatan akun, sudah linked dengan NIK misalkan, apabila tidak sesuai dengan NIK si pembuat akun, maka sistem akan menolaknya. Jadi setiap individu hanya memiliki satu akun.

Terkait dengan segi teknis ini, hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Direktur Tindak Pidana Khusus Bareskrim POLRI Brigjen Agung Setya “Pelaku yang belakangan melempar isu-isu hoax di media sosial itu, modusnya, adalah buka akun baru, lempar isu, tutup akun, buka akun baru, lempar, dan tutup lalu pergi. Begitu seterusnya. Hit and run. (Sumber; http://www.beritasatu.com). Apabila pembuatan akun dipersyaratkan linked, maka hal –hal demikian tidak akan terjadi, oleh karena setiap pengguna jelas identity-nya, tidak perlu pakai bantuan-bantuan teknologi lainnya dalam pengungkapan yang lebih jauh.

Persoalan tersebut diatas sebagai penyebab pertama, bercampur aduk dengan tingkat kedewasaan penerima pesan, yang penulis maksudkan sebagai penyebab kedua yaitu minimnya pemahaman terhadap medsos itu sendiri. Pesan yang disampaikan dengan cara hit and run diatas, yang dilakukan untuk tujuan-tujuan tidak baik bergayung sambut dengan kemampuan dalam menerima dan mencerna informasi. Penerima pesan minim literasi, minim literasi mengakibatkan logika rendah. Contoh soal, hoax tentang isu penculikan anak sehingga sampai memakan korban, orang dikeroyok sampai nyawanya melayang. Isu nya, penculikan anak-anak untuk diambil organ tubuhnya.

Penerima pesan masih banyak yang kurang paham akan dunia medsos, hanya sekedar bisa pakai dan tidak tahu seluk beluknya, sehingga apabila berteman dalam media sosial tersebut tidak tahu apakah itu akun benar atau akun abal-abal. Belum lagi kesalahan dalam penggunaannya yang kadang dimanfaatkan oleh orang lain.

Ada beberapa kasus penipuan akun, dengan modus akun seseorang digunakan oleh orang lain. Akun facebook, dapat dianalogikan seperti rumah kita. Apabila kita akan meninggalkan rumah dalam kondisi rumah kosong, tentu kita akan menutup pintu dan jendela, termasuk pagar rumah kita supaya tidak dimasuki orang, apalagi orang yang berniat tidak baik. Demikian juga halnya dengan akun, apabila setelah selesai digunakan, tidak ditutup sesuai dengan prosedur atau lupa untuk menutupnya, maka ibaratnya pas ada orang lewat dilihatnya akun tersebut terbuka dan pemiliknya entah kemana, maka bisa disalahgunakan oleh orang lain.

Kembali kepada tingkat pemahaman terhadap medsos. Secara feeling, apabila kita sedikit banyak tahu tentang medsos, kita akan cepat mencium aroma apakah itu akun asli/benar atau abal-abal apalagi ditambah dengan isi pesan yang aneh-aneh yang tidak masuk akal.. Logikanya, mengambil organ tubuh yang akan dipergunakan lagi entah apalah namanya itu, transplantasi, cangkok lah apa itu, perlu keahlian (kedokteran). Setelah organ diambil perlu tempat penyimpanan khusus, ada perlakuan khusus, tidak seperti menyimpan barang lain.

Untuk memenuhi syarat syarat itu tidak mudah seperti yang dibayangkan. Apabila ada praktek semacam ini, pasti terendus oleh pihak berwenang. Jadi, tidak usah dipikir rumit-rumit, itu jelas hoax, berita bo’ong. Kewaspadaan perlu, kewajiban orangtua ya memang menjaga putra-putrinya,, tetapi tidak harus dengan mudah diprovokasi. Kasus Mempawah (http://kbr.id/berita/03-2017/) seorang kakek tewas dihakimi massa, adalah pelajaran berharga bagi semua, jangan ada lagi kejadian-kejadian seperti itu.

Penyebab yang ketiga adalah kesadaran hukum. Apabila kita cermati, apa yang ada di medsos miris kita dibuatnya. Banyak dijumpai bukan saja berterbaran akun-akun abal abal, yang menawarkan segala macam produk baik barang maupun jasa, tetapi juga dari isi pesan yang ada. Seolah-olah disitulah tempat menumpahkan segala uneg-uneg (baca; perasaan dalam hati) tanpa memperhatikan norma-norma atau etika, memberikan komentar-komentar dengan bahasa tulis yang kurang/tidak pantas, pesan –pesan yang cenderung provokatif, tidak hanya nyrempet-nyrempet SARA bahkan ada yang langsung menukik tajam.

Siapa yang berkewajiban untuk katakanlah mengendalikan hal-hal semacam ini?. Jawabannya adalah semua pihak, semua komponen bangsa. Tidak jarang, akibat viral di medsos yang vivere pericoloso (nyrempet-nyrempet) hal sensitif yang terdiri dari empat huruf yakni SARA, mudah memancing kemarahan massa padahal pesan tersebut belum tentu kebenarannya.

Hal –hal demikian sangat menguras waktu, biaya dan tenaga untuk menyelesaikannya. Kita tidak bisa hanya menyerahkan kepada pemerintah dalam hal ini Kementrian Kominfo saja misalnya, tidak hanya kepada aparat penegak hukum dalam hal ini Kepolisian Negara RI yang mana ada Satuan /Unit Cybercrime-nya, tapi perlu kesadaran bersama, semacam gerakan atau apalah untuk menggunakan media sosial yang bertanggungjawab. Dimulai dari hal-hal sederhana saja, apabila ada hoax, tidak usah ikut-ikutan untuk menyebarkannya.

Mari, apabila sudah berada didepan perangkat IT, atau siap mau menggunakan perangkat apapun yang tersedia fasilitas untuk bersosial media pertama yang kita ingat adalah ada UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu UU Nomor 8 Tahun 2011. Ada sanksi hukum disana terhadap penyalahgunaan media sosial.

(Penulis; Kabag Humas dan Protokol, Setda Ketapang).

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Leave a Reply

Your email address will not be published.